Oleh: Ahrori Dlofir *
Senin, 15 Desember 2025 saya sowan kepada salah satu kiai ahli thoriqoh, bahkan beliau pernah menjabat sebagai ketua Jatman PCNU Bangkalan. Beliau adalah kiai Abd Wahab Jazuli, salah satu kiai sepuh di Bangkalan bahkan di Madura. Beliau adalah kiai NU Kultural, yang kesehariannya sibuk melayani umat, tanpa sedikitpun ada sekat.
Sesekali kami ngobrol tentang NU dan perkembangannya. Disela obrolan, tiba tiba beliau menyebut nama Kiai Zulfa Mustofa. Menurut kiai Wahab, kiai Zulfa adalah sosok alim yang sangat wibawa dan tawadlu’. Sangat mumpuni dalam segala lini.
Lebih lanjut Kiai Wahab bertanya kepada saya; apa jabatan beliau di NU? Saya jawab; “Kiai Zulfa sekarang menjadi PJ Ketua umum PBNU”. Mendengar jawaban tersebut beliau sangat bersyukur dan sangat mendukung penuh. Bahkan harapannya, kiai zulfa bukan hanya sebagai PJ, akan tetapi harus menjadi mandataris di Muktamar mendatang.
Kiai Wahab, sebagaimana dawuhnya, hanya sekali bertemu kiai Zulfa, pada saat acara haul disalah satu pesantren di Bangkalan. Walaupun hanya sekali, rupanya pertemuan itu sangat berkesan. Terbukti Kiai Wahab langsung mengirimkan pesan via WhatsApp kepada Kiai Zulfa yang isinya di beritahukan kepada saya.
Mendengar dan menyimak dawuh Kiai Abd Wahab Jazuli mengenai Kiai Zulfa, rupanya ada harapan besar yang bertumpu pada sosok Pj Ketua Umum tersebut. Merawat dan menguatkan jamiyah Nahdaltul ulama dibidang keilmuan, sosial dan segala aspek lainnya yang tentu bermanfaat.
*********
Prolog diatas semakin menegaskan bahwa dinamika yang berkembang saat ini adalah kegelisahan memuncak dari para kiai dan panutan masyarakat terhadap Jamiyah Nahdlatul Ulama selama empat tahun terakhir. Pelaksana Jamiyah semakin tidak terarah dalam menahkodainya. Saya tidak tertarik ketika konflik ini dipolitisasi hanya mengenai tambang. Bagi saya yang paling fatal dan harus ditindak tegas adalah Ketika pelaksana Jamiyah sudah bisa mengkaburkan hakikat dari perjuangan NU itu sendiri.
Mendatangkan seseorang yang mendukung agresi Zionis Israel adalah tindakan konyol yang tidak manusiawi. Itulah yang menjadi titik tekan, bahwa Gus Yahya yang sangat nempel dengan person yang mendukung agresi Israel harus diamputasi. Bahkan ketika saya sowan mendengarkan langsung penjelasan Rais Aam, sejatinya-menurut saya- bukan lagi diminta mundur, akan tetapi langsung dipecat dengan tidak terhormat. Karena ini adalah jam’iyah ulama. Organisasi yang didirikan oleh para auliya’. Bukan jam’iyah gado gado. Yang semua orang boleh masuk dan sesuka hati membawa kendaraan besar NU kemana saja. Sekali lagi, ini jam’iyah ulama, sispapun yang misinya tidak sesuai dengan Qanun asasi bisa langsung mundur.
Dititik inilah, mencari personal dan sosok sentral dalam bingkai keilmuan harus menjadi titik tekan. Sebagai ormas terbesar, sejatinya Nahdaltul Ulama harus bisa menseleksi sosok yang bisa membawa NU dalam gubahan positif terutama dalam retorika keilmuan. Jangan hanya mencari sosok yang dekat dengan kekuasaan. Sehingga apapun perkembangannya, NU harus memberi kontribusi konkrit terhadap bangsa. Bukan malah menjadikan NU sebagai alat eksploitasi untuk memperoleh sesuatu dari negara. Dan, pemerintah harus paham bahwa NU adalah aset terbesar bangsa Indoensia.
Nahdaltul Ulama sebagai organisasi terbesar, harus menjalankan fungsi sebagai control sosial (chekc and balance). Peran ini dijalankan dalam kapasitasnya sebagai bagian dari masyarakat sipil (civil siciety). NU sangat diharapakan untuk mengimbangi kekuasaan dengan cara memberi masukan dan kritikan yang membangun. Bukan malah apa yang dikehendaki pemerintah harus diamini semua. Jika NU bisa menjalankan fungsinya dan pemerintah menerima masukan, niscaya cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadikan negara kita sebagai Baldatun Tayyibatun Warabbun Ghafur akan segera terwujud.
Menelisik kepemimpinan NU dan peranan Kiai Zulfa sebagai PJ ketua Umum PBNU sangatlah tidak heran, ketika saya memulai sowan kepada para kiai sepuh di Madura dan tapal kuda, semuanya berharap bahwa NU harus dipimpin oleh seorang ulama yang kapabilitas keilmuannya tidaklah diragukan. Seorang yang bisa medesain organisasi Nahdaltul ulama dengan ornamen keilmuan. Bahkan saya sangat terharu, ketika KH. Muhamad Faisol Anwar, Rois Syuriyah PCNU Bangkalan sekaligus sesepuh Bani Cholil mengalungkan sorban peninggalan Syaichona Cholil kepada kiai Zulfa saat sowan ke dalemnya beberapa waktu yang lalu. Ini adalah ikhtiar bathiniyah yang dilakukan oleh kiai sepuh Madura bahwa kiai Zulfa sangat layak untuk menjadi pimpinan Jamiyah Nahdlatul ulama.
Pengalungan sorban ini tidak ada rencana awal. Ini adalah simbol isyarah akan kepemimpinan Kiai Zulfa pada saat ini dan yang akan datang. Dan, Kiai Zulfa adalah harapan para kiai sepuh untuk Jamiyah Nahdaltul Ulama yang teduh dan utuh.
Selain itu, pada saat yang bersamaan para kiai sepuh di Madura bahkan di Nusantara, sepakat akan sosok kiai Zulfa. Harapan besar itu muncul melihat dinamika yang berkembang ditubuh PBNU sendiri. Ikhtiar dan ijtihad kiai sepuh inilah, merupakan gambaran utuh bahwa ditubuh organisasi NU harus dipimpin oleh sosok yang mempunyai karakter keilmuan pesantren.
Sangatlah naif, jika ada oknum ‘Gus’ dan ‘kiai’ tidak sepakat dengan sosok Kiai Zulfa hanya gara-gara kiai zulfa tidak bisa diajak untuk ‘kompromi’. Inilah tugas berat kiai zulfa untuk berjalan lurus dalam memimpin Jamiyah Nahdaltul ulama. Leadership dan ilmu pengetahuan harus tegak lurus pada diri Kiai Zulfa dalam menjalankan roda organisasi. Jangan takut diintervensi pemerintah, apalagi oknum yang mengatasnamakan tokoh agama. Disinilah marwah NU menjadi taruhan. Dan jangan khawatir, Kiai sepuh akan terus bersimpuh dan berdoa untuk kebaikan Jamiyah Nahdlatul ulama.
*Wakil Sekretaris PCNU Bangkalan
Sekjen FORBHINU (Forum Bhindereh Nusantara).
Pengasuh Yayasan Raudlatul Ulum Palo Bangkalan.
Sekretaris FKUB Bangkalan 2018-2020




