Anak PMI Ilegal, Siapa Peduli Nasibmu? 

oleh -200 views

Oleh: Zai *

Di tengah hiruk pikuknya Kuala Lumpur, Malaysia. Ada kehangatan yang tak bisa dipadamkan di area rumah plat (rumah susun) Danau Kota, Setapak. Seorang gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun begitu cekatan membantu ibunya berjualan nasi lemak di tempat parkir rumah plat tersebut. Raut wajahnya cantik, berkulit putih dan sinar matanya berbinar-binar. Gadis kecil itu bernama Lia. Dia tidak bisa menikmati masa-masa indah dibangku sekolah seperti teman-teman sebayanya. Setiap pagi bocah seusianya berangkat sekolah, sedangkan Lia membantu sang ibu di warung pinggir jalan.

 

Dari sorot matanya dapat dibaca Lia ingin seperti teman-teman sebayanya. Namun, karena tidak ada dokumen kependudukan yang menyebabkan dia tidak bisa menikmati pendidikan. Meskipun Lia lahir di Malaysia, tetapi dia merasa berada dalam keterasingan yang panjang. Lia adalah salah satu dari ratusan anak Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal. Anak-anak dari PMI tanpa surat izin hidup di Malaysia dengan kisah yang tak pernah mereka harapkan. Hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian dan belajar menjalani dunia yang tak memberi mereka banyak pilihan.

 

Saat membantu sang ibu berjualan, Lia kelihatan cekatan, ramah dan tersenyum manis kepada setiap pembeli, tangan mungilnya lincah membungkus nasi. Menegur ibunya apabila salah menghitung memberi uang kembalian. Apabila ada customer membeli nasi dalam jumlah banyak. Si ibu menghitung dengan menggunakan kalkulator. Namun, Lia menghitung dengan cepat tanpa kalkulator. Kejadian tersebut membuat para customer kagum dengan kecerdasan Lia.

 

“Di Malaysia, untuk mendapatkan pendidikan itu prosedurnya sangat sulit dan banyak syarat nya apalagi bagi warga asing yang ilegal. Lia enggak punya dokumen, mau sekolah tidak bisa. Sekolah di kedutaan ribet sebab saya ilegal, tempatnya juga jauh tidak ada yang ngantar-jemput, kalau ikut grab tak mampu, tidak semudah yang dibayangkan,” Cerita ibu Lia saat salah satu pelanggan menanyakan tentang pendidikan Lia.

 

Lia setiap hari menghabiskan waktu membantu sang ibu jualan nasi. Usianya kian beranjak remaja tanpa mengenyam pendidikan. Namun, dia melek digital dan prilakunya bikin kagum setiap orang yang mengenalnya. Di waktu malam belajar dari ibunya tentang budaya Indonesia, mengerjakan salat dan mengaji. Di usia yang hanpir sepuluh tahun dia sudah bisa membaca, menulis dan menghitung, sedangkan untuk belajar salat, ngaji dan baca kitab dia belajar kepada seorang ustaz yang ditinggal di sebelah tempat tinggalnya.

 

Bagi anak-anak Pekerja Migran Indonesia, terkadang pendidikan merupakan barang mewah. Sebab, tanpa kejelasan status. Meskipun lahir di Malaysia, karena tidak memiliki dokumen, sehingga mereka tidak bisa memperoleh akses pendidikan formal. Bocah-bocah yang bernasib sama seperti Lia kebanyakan sehari-hari tanpa penjagaan dan pengawasan. Ayah dan ibu mereka harus bekerja dengan waktu yang terkadang tidak menentu.

 

Bocah-bocah tersebut tumbuh dan berkembang tanpa pendidikan dan terlanjur memasuki usia remaja, tidak punya banyak pilihan, dan akhirnya bekerja seadanya. Seperti halnya Lia ketika ditanya tentang cita-cita.

“Ingin jualan nasi lemak kayak ibu,” Jawabnya polos yang bikin hati penulis sendu.

 

Ternyata untuk menghapus stigma “Anak PMI harus jadi PMI” tidaklah mudah. Sementara anak-anak tunas bangsa di Indonesia mereka bisa menikmati pendidikan dengan baik, ditambah dengan program andalan pemerintah MBG (Makan Bergizi Gratis) nasib mereka jauh lebih beruntung dari pada anak Pekerja Migran ilegal tersebut.

 

Lia hanya satu dari sekian anak pekerja migran Indonesia ilegal yang masa depannya masih buram alias tidak jelas, Lia tidak punya pilihan selain menjalani apapun yang sudah menjadi takdir hidup lahir dari orang tua sebagai pekerja migran Indonesia ilegal di negara Malaysia dan besar tanpa mengenyam pendidikan.

 

Lia dan sejumlah anak PMI Ilegal lainnya hanya mampu menenun mimpi di bawah megahnya menara Petronas. Apakah keadilan hanya sebatas kata? Masih adakah harapan bagi mereka untuk mendapatkan haknya? Lalu siapa yang akan memperjuangkannya? Adakah yang Peduli ???

* Pekerja Migran Indonesia di Malaysia yang aktif menulis sebagai kontributor di posmedia.id

No More Posts Available.

No more pages to load.