Oleh: Zai *
Mesranya hubungan dua negara Malaysia-Indonesia tak dapat dinafikan. Keduanya tak satu dua kali, tetapi berkali-kali mengalami pasang surut. Sebagai dua negara bertetangga, bahkan disebut serumpun, potensi kerjasama acapkali diterjang konflik, serta tersulut api dendam kesumat, lalu akur kembali. Tak ada kata paling tepat untuk menggambarkan hubungan keduanya selain judul lagu, Benci tapi Rindu.
Keakraban Indonesia-Malaysia membuat masyarakatnya merasa nyaman saling bertandang, seperti layaknya keluar masuk rumah sendiri. Begitu juga yang dialami Ardy, bukan nama sebenarnya. Ia seorang Pekerja Migran ilegal berasal dari Pulau Garam. Pada awalnya ia tergiur masuk Malaysia karena melihat beberapa keluarga, tetangga dan temannya sukses bekerja di tanah rantau tanpa tahu apa yang dilakukan.
Kurang lebih 17 tahun Ardy mengabdikan diri sebagai seorang guru honorer di Sekolah Dasar yang berada di pelosok desa terpencil. Pernah beberapa kali ikut tes P3K, tetapi gagal. Gaji honorer yang diterima setiap bulan tidak cukup memenuhi kebutuhannya, meskipun sudah berusaha sehemat mungkin. Daya beli kian tertekan akibat inflasi yang semakin melonjak, upah rendah membuat Ardy mati kutu.
Sebelum memutuskan pergi dari Indonesia, Ardy pernah beberapa kali mengadu nasib melamar kerja, hasilnya nihil. Pernah juga mencoba merintis bisnis. Namun, tak bertahan lama akhirnya gulung tikar. “Bukannya frustrasi, tetapi karena rasa ketidakpuasan terhadap situasi ekonomi, kualitas hidup yang menurun, ketidakadilan sosial, kebijakan pemerintah yang tidak memadai, serta buramnya masa depan,” beber Ardy memulai ceritanya.
Berbekal Ijazah S.Pd Ardy terbang membawa mimpi. Pengabdiannya 17 tahun sudah dinilai cukup. Ia tak bisa lagi bertahan dengan gaji Rp 400-500 setiap bulannya. Keinginannya tinggi untuk kerja di Negeri Jiran. Pertama, karena Malaysia dekat dengan Indonesia. Budaya, tradisi, dan lain-lainnya hampir sama, bahasa juga tidak jauh berbeda. Itu faktor utama yang bikin Ardy menjatuhkan pilihan ke Malaysia.
Namun, Ardy salah langkah, masuk Malaysia menggunakan pasport pelancong tanpa visa. Setelah overstay, ia mulai bingung, kerja yang diimpikan sesuai dengan titel jauh panggang dari api. Apalagi dengan status baru sebagai pendatang haram semakin mempersulit. Baik kerja cleaning servis, jaga toko, kilang, hotel, restoran mau pun jadi security tak menerima pekerja ilegal.
Berada di negara orang tanpa dokumen sangat beresiko menimbulkan konsekuensi hukum, hal ini tak terpikir sebelumnya oleh Ardy. Rasa cemas dan takut terhadap razia imigrasi yang menangkap PATI (Pekerja tanpa izin) setiap saat senantiasa menghantui. Saudara dan teman yang diharapkan bantuan tak bisa melakukan apa-apa. Mereka sudah cukup sibuk dengan peraturan kerja yang sangat keras, ketat dan disiplin. Ganasnya hidup di rantau, acuh cueknya sikap orang sekeliling, dengan slogan “Tak kerja tak makan” Benar adanya.
Bagi PMI (Pekerja Migran Indonesia) berada di negeri orang kalau ikut jalur prosedural merasa aman karena mendapatkan perlindungan. Sedangkan untuk yang non prosedural, imigrasi Malaysia siap menangkap dan hukumannya berat. Kerja pertama yang dilakoni Ardy adalah sebagai pelayan di sebuah restoran nasi Kandar Kampung Baru di jantung Kota Kuala Lumpur. Di tempat itu hanya bertahan beberapa purnama saja, kerjaannya terlalu berat hingga membuatnya sering sakit.
Dari kerja restoran, Ardy akhirnya beralih ke cleaning servis, itu pun tak bertahan lama, jarak tempat kerja dengan rumah sewa cukup jauh, sehingga membuatnya sering telat tiba di tempat kerja. Tak sampai dua pekan ia dipecat. Setelah lama menganggur Ardy mendapat tawaran kerja kedai makan di Johor, jarak tempo antara Johor dan Kuala Lumpur kurang lebih lima jam. Tak tahu apa jadi penyebabnya Ardy pun berhenti kerja kedai dan kembali ke Kuala Lumpur.
Di tengah himpitan kerasnya hidup di rantau, tak memiliki pekerjaan tetap, tak bisa terus bergantung kepada saudara dan teman, tak ada tempat tinggal, juga rapuhnya iman serta berada di tempat asing membuat Ardy terseret ke pergaulan komunitas LGBT. Seorang teman warga setempat yang baru dikenal, menyeretnya ke pergaulan menyimpang tersebut. Ia jadi pemuas nafsu sesama jenis, dunianya terasa gelap. Ia sadar, sesadar-sadarnya terjerumus ke orientasi seksual tersebut, tidak sakit jiwa, mentalnya sehat. Tak memiliki kisah trauma masa kecil. Jika dirunut dari hulu ke hilir keluarga besarnya tak ada satu pun yang memiliki genetik ke arah itu, mereka semua normal.
Semenjak tercebur ke komunitas LGBT, Ardy semakin kehilangan arah. Minum, rokok, seks bebas dengan sesama jenis menjadi hal biasa. “Meskipun hidup di tengah-tengah komunitas gay, salat lima waktu tak pernah saya tinggalkan dan obat-obatan terlarang enggak pernah saya sentuh,” tutur Ardy.
Dengan keluarga dan orang-orang yang mengenalnya Ardy menjauh. Ia merasa tersisih dan terbuang. Hidup lebih baik yang diimpikan di negeri orang malah membuatnya hancur.
Satu tahun berlalu menjadi anak rantau, Ardy masih terombang-ambing di tengah ganasnya metropolitan Kuala Lumpur. Di saat itulah ada kejadian indah yang mengubah jalan hidupnya. Tas berisi berapa helai baju, ponsel, uang tunai, KTP, pasport dan surat-surat penting lainnya raib kena jambret. Ia benar-benar berada di titik terendah. Dunianya terasa gelap. Kejadian itu membuat Ardy insaf bahwa apa yang dilakukan menyimpang dan uang yang didapat tidak berkah.
Rumah sewa tak mampu dibayar, makan mengharap sedekah orang. Akhirnya Ardy memilih untuk tinggal di masjid. Pengurus masjid menerimanya dengan baik, bersedia menampung musafir yang tak ada tempat tinggal. Malam harinya Ardy bergabung dengan group band jalanan di Bukit Bintang.
Beberapa purnama jadi pengamen yang mangkal di pusat kota, dari hasil ngamen Ardy bisa membeli ponsel baru dan bertahan hidup. Ternyata jadi anak rantau tak seindah yang dibayangkan, banyak batu sandungan. “Saya menyesal masuk negara orang jadi pekerja ilegal. Kesalahan fatal yang saya lakukan terlalu terburu-buru, kurang persiapan dan tak ikut jalur sah,” keluhnya.
Di negara Harimau Malaya hak LGBT tidak dijamin. Mayoritas penduduknya beragama Islam dan homoseksual dianggap illegal. Kaum LGBT di Malaysia dianggap tidak bermoral dan ditetapkan sebagai tindakan kriminal seperti penjahat. Hal itu yang membuat Ardy sekuat tenaga berupaya menjauh, walaupun memerlukan waktu panjang untuk membebaskan diri. Tetesan hidayah telah meresap ke relung hati, melalui takmir masjid yang mau mendengarkan keluh kesahnya, tanpa menggurui dan menghakimi.
Ketika di Indonesia tengah tranding tagar Kabur Aja Dulu, tidak dengan Ardy, dirinya masih memilih menetap dan bekerja di Bukit Bintang. Ia memutuskan bertahan di rantau daripada pulang ke Indonesia. Dilanjut dengan pemberitaan di media sosial demo mahasiswa mengangkat tagar “Indonesia Gelap” membuatnya enggan pulang, lebih nyaman tinggal di Malaysia.
Di negara Petronas masih ada seberkas cahaya untuk Ardy. “Saya bersyukur bisa menata hidup saya dari nol lagi. Terbongkarnya kisah Reynhard Sinaga sang predator seksual setan, telah menyadarkan saya dan tak akan ada Reynhard Sinaga kedua.” Tutur Ardy mengakhiri ceritanya.
*Pekerja migran Indonesia di Malaysia yang juga aktif menulis sebagai kontributor di posmedia.id