100 Hari Kerja Presiden Prabowo, Pejuang Devisa Apa Kabarmu?

oleh -210 views

Oleh; Zai*

Pasca maraknya analisis 100 hari kerja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka oleh pengamat politik, para aktivis, akademisi, dan pakar hukum tata negara. Terjadi tragedi lima orang WNI yang sedang melintas di pantai Tanjung Rhu, Malaysia, ditembak oleh polis APMM (Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia) hingga menyebabkan warga negara Indonesia tewas. Mereka ditembak karena diduga berupaya keluar dari Malaysia secara ilegal.

 

Terjadinya tragedi tersebut sempat mengegerkan media sosial. KBRI, Menteri Buruh Migran dan menteri Luar Negeri wajahnya terpampang di layar-layar media. Para pemangku yang baru dilantik bisa unjuk kemampuan dalam mengatasi kasus berkaitan dengan Pekerja Migran. Kunjungan Presiden Prabowo Subianto pada Senin, 27 Januari 2025 terjadi di kala kasus WNI yang tewas ditembak polis patroli Malaysia bergulir. Semua rakyat Indonesia meletakkan harapan besar agar kasus tersebut dikawal dan diproses serius, tidak menguap begitu saja. Tak satu dua kali, tetapi berkali-kali kejadian serupa terjadi. Nyawa Buruh Migran seperti tak ada harganya.

 

Perang antar netizen Indonesia dan Malaysia tak dapat dihindari, terutama di media X, Tiktok, IG dan FB. Mereka saling hujat. Kata netizen Malaysia Pekerja Migran Indonesia yang salah karena keluar masuk negara orang secara haram tanpa dokumen. Begitu juga sebaliknya komentar netizen Indonesia polis Malaysia yang salah melanggar HAM serta menggunakan kuasa secara berlebihan, harusnya jika menangkap Pekerja Migran ilegal jangan dibunuh, cukup dilumpuhkan.

 

Perang medsos dan memanasnya hubungan dua negara tak mengusik fokus keamanan para Pekerja Migran lainnya yang tengah mengais pundi-pundi ringgit. Di Ampang Jaya di sebuah rumah mewah seorang Pekerja Migran perempuan berasal dari Jawa Timur tengah bersiap-siap berangkat umrah, dia bekerja selama sepuluh tahun mendapatkan bonus dari majikannya berangkat umrah dengan travel paling bagus di Malaysia. Mereka tidak terusik dengan kondisi perang medsos yang kian memanas.

 

Di kilang elektronik yang berlokasi di Subang Jaya Pekerja Migran Indonesia dan Malaysia berbaur mesra tanpa ada waktu untuk membahas tentang nasib WNI yang tertembak mati. Mereka sudah cukup lelah berkejaran dengan overtime.

 

Di Chow Kit yang terkenal dengan sebutan Jakarta mini, seorang Pejuang Devisa perempuan yang telah mengabdikan separuh dari hidupnya kepada sang majikan sedang menangis tersedu-sedu. Antara majikan dan pembantu berpelukan erat karena permit (surat izin kerja) tidak bisa disambung lagi. Umur jadi penghalang. Batas umur Pekerja ART 60 tahun, sedangkan usia si ART tersebut memasuki 65 tahun. Sudah beberapa kali dapat toleransi untuk memperpanjang dokumen izin kerja. Hubungan emosional yang begitu kuat harus terputus paksa dikarenakan aturan. Sang ART menerawang jauh “Kerja apa di Indonesia bagi perempuan yang usia di ambang senja mendapatkan gaji hampir 10 juta?”

 

Di waktu malam keindahan, keramaian dan gemerlapnya kerlap-kerlip lampu di kawasan elit Bukit Bintang yang berada di jantung Kota Kuala Lumpur sungguh memesona, tak berlebihan jika Bukit Bintang disebut surga dunia. Di sana setiap malam ada seorang pengamen muda yang senantiasa dikelilingi oleh pengunjung. Raut wajahnya yang ganteng, gagah, penampilan rapi dan suaranya mirip penyanyi mantan vokalis Kerispatih Sammy simorangkir menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang lalu lalang. Si pengamen menyanyi hanya diiringi gitar. Namun, penontonnya mengalahkan konsert Kpop yang sedang berlangsung di area sebelah.

 

Pengamen itu seorang Sarjana S.Pd. Awalnya sebelum masuk Malaysia dia seorang guru honorer di institut pendidikan. Gaji honorer yang sangat memprihatinkan membuatnya hengkang dari Indonesia dan terbang ke Malaya. Dia masuk Malaysia menggunakan visa melancong. Ketika tempo visanya habis tidak pulang ke Indonesia, hingga menyandang status baru sebagai pendatang haram. Dia hendak kerja kuli bangunan atau kerja kasar lainnya badannya tidak kuat maka jadilah dia pengamen.

 

Di Shah Alam, di pinggiran kota Kuala Lumpur ada sebuah rumah mewah milik keluarga keturunan India, bekerja seorang ART dari Pulau Garam. Dia bagaikan burung dalam sangkar emas. Menyaksikan matahari terbit dan terbenam hanya dari balik tirai. Selama bekerja dia tidak diizinkan keluar, setiap sudut rumah tersorot CCTV tersembunyi. Dia buta dan tuli tentang medsos. Tak pernah tahu apa yang terjadi di balik tirai, jangankan tahu berita tentang lima WNI yang ditembak mati, suara orang tua di kampung saja dia hanya mendengarnya sebulan sekali itu pun melalui hape majikan. ART tersebut hidup di zaman purba di tengah maraknya era digitalisasi, penyiksaan raga dan psikis-nya tak ada yang tahu. Hak-haknya sebagai ART terabaikan. Namun, dia tetap bertahan demi keluarga di kampung.

 

Di tengah harga sandang dan pagan menggila, tragedi gas elpiji yang memakan korban, mencuatnya isu pagar laut, maraknya pesta gay dan santernya pemberitaan mangkraknya IKN menenggelamkan kasus WNI yang tertembak. Beritanya hanya heboh sekejap mata. Pejuang Devisa hanya bisa pasrah dan bertahan dengan takaran hidup masing-masing. Permainan nasibnya untung apa buntung itu saja.

* Pekerja migran Indonesia di Malaysia yang juga penulis produktif 

No More Posts Available.

No more pages to load.